Tulisan Robi (TUBI))
Agama
di indonesia belum dipahami dan dikelola dengan baik untuk membentuk etos
bangsa. Belum ada korelasi yang positif antara bangsa yang dikenal religius dan
modern. Sebagian kita terjebak
formalitas dan simbolisme agama. Tujuan
akhir beragama bukanlah sebatas pengetahuan kognitif belaka. Ada kontradiksi
antara klaim indonesia sebagai bangsa yang religius dengan maraknya korupsi
ditingkat pejabat publik dan kemiskinan di tengah kekayaan negeri. Yang lebih
memprihatinkan sekelompok orang memaknai agama secara destruktif. Tindakan
kekerasan dan teror dilakukan atas nama agama. Rusaklah citra bangsa indonesia
yang dikenal ramah dan cinta damai.
Dalam
cerita pendek AA Navis Robohnya Surau
Kami (1955), surau menjadi metafora dari kesalehan. Yang diratapi bukan
bangunan fisik tetapi “suatu kesucian yang bakal roboh “. Kesucian yang
dimaksud bukanlah kesalehan individual melainkan kesalehan sosial.
Alkisah,
Tuhan di akherat sedang memeriksa antrean panjang orang-orang yang telah
meninggal. Giliran Saleh yang diperiksa. Saleh tersenyum karena merasa yakin
akan masuk surga. Ketika ditanya apa saja yang dia lakukan selama dia hidup ia
menjawabnya dengan lancar. Menyembah Tuhan dan menyebut nama-Nya, membaca kitab
suci, memiliki iman, menjalankan rukun agama dan menghindari dosa-dosa.
Ketika
ditanya lagi apa yang dilakukan selain itu Saleh terdiam dan tidak menjawab
apa-apa karena Saleh telah mneyebutkan semua yang telah dilakukannya selama dia
hidup. Maka, jatuhlah vonis untuk dirinya. Saleh di nerakakan. Saleh terheran-heran,
lebih heran lagi ketika orang lain yang lebih saleh darinya ternyata bernasib
sama.
Saleh
pun tak puas. Bersama dengan yang senasib dengannya mereka protes ke Tuhan dan
mempertanyakan standar penghakiman Tuhan
yang dianggap tidak jelas.
“Dimana kalian tinggal
?”
“Indonesia.”
“Negeri yang tanahnya
subur, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam ? negeri yang tambngnya kaya raya
itu ?”
“Benar Tuhan.”
“Tetapi penduduknya
banyak melarat ? negeri yang selalau kacau karena kalian suka berkelahi, sementara
kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?”
“ Benar Tuhan. Kami
tidak peduli dengan kekayaan alam kami, yang penting kami menyembah dan memuji
–Mu”
“Engkau rela melarat ?
bahkan hingga anak cucu mu ikut melarat ?
“Tidak apa – apa Tuhan
asal mereka taat beragama.”
“Meski ajaran agama itu
tidak masuk ke hati ?”
“Masuk dihati Tuhan. “
“Kalau masuk dihati,
mengapa kalian biarkan diri kalian tetap melarat sehingga ank cucu kalian
teraniaya, kekayaan alam kalian dikeruk
orang lain untuk anak cucu mereka? Mengapakah kalian lebih suka menipu
dan memeras ? aku beri kalian negeri yang kaya, namun kalian malas dan tidak
suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadat. Kalian kira aku mabuk pujian
atau suka disembah ? “
Semua terdiam dan
tahulah mereka kini apa yang di ridhoi
Allah. Dengan penasaran saleh bertanya, “ apakah salah menyembah – mu, Tuhan ?”
tidak salah. Tetapi kesalahan terbesar adalah terlalu mementingkan diri. Kau
taat sembahyang karena takut neraka. Kau lupakan kehidupan anak-istrimu dan
kaummu sehingga mereka melarat.”
Cerita
diatas hanyalah anekdot untuk menggambarkan bahwa ke salehan individual adalah
memilih diam terhadap keadaan dan lingkungannya. Pada hal hakikat Tuhan
menciptakan manusia adalah untuk menjadi Khalifah yang mengatur bumi dan segala
isinya.
Manifestasi
kesalehan dinegri ini terkungkung visi tempat ibadat. Potensi ekonomi ummat
diinvestasikan untuk bangunan yang tersusun dari batu – batu mati, bukan
batu-batu hidup, yakni umat yang saleh. Obsesi kesalehan dinegeri yang bersila ketuhana ini adalah membangun
tempat ibadat yang megah. Demi kemuliaan
Tuhan, katanya.
Energi
umat sering dihamburkan untuk membela agama dan reifikasi kesalehan. Jika
energi ini disalurkan untuk memerangi orupsi, kemiskinan dan kebodohan niscaya
bangsa ini akan maju. Mengapakah modal sosial yang begitu besar tidak mendorong
kemjuan dan perdaban bangsa ? ketiadaan visi kesalehan sosial. Kesalehan
berhenti di tataran individu dan berfungsi sebagai penentu identitaskelompok.
Kesalehan hanya berorintasi dunia akherat dan ketenangan batin. Kesalehan
seperti ini mudah dijinakkan dan tidak berbahaya bagi status quo.
Perlu
tranformasi sebagian energi kesalehan menjadi amunisi kritik sosial. Kesalehan
sosial memupuk daya kritis dan daya juang umat. Rakyat akan geram melihat korupsi daripada berkolaborasi dengan
penguasa, pemuka agama akan menjaga jarak agar masih bisa menegur penguasa
ketika salah. Inilah modal sosial yang
dimiliki oleh bangsa ini. Sehingga orientasi baru kesalehan ini akan memberi
solusi bagi permasalahn bangsa.
Komentar
Posting Komentar