Kapitalis Cinta
Apa yang bisa di diskusikan tentang
cinta ? ada banyak hal yang bisa di diskusikan tentang cinta karena pada
hakikatnya manusia membutuhkan pengetahuan terhadap apa pun itu.
Dewasa ini banyak diantara kita yang mencibir tentang cinta, hal ini tidak lain karena masyarakat kita disuguhi kata-kata indah yang justru menjadi komoditas pasar, iklan, kepura-puraan artis sinetron dan film. Kita disuguhi fakta bahwa bapak dan ibu dari itu semua adalah modal yang berinduk kepada kapitalisme.
Dewasa ini banyak diantara kita yang mencibir tentang cinta, hal ini tidak lain karena masyarakat kita disuguhi kata-kata indah yang justru menjadi komoditas pasar, iklan, kepura-puraan artis sinetron dan film. Kita disuguhi fakta bahwa bapak dan ibu dari itu semua adalah modal yang berinduk kepada kapitalisme.
Kita cenderung jarang berpikir dan
merasa, atau bahkan merenung tentang hakikat cinta dan justru menempuh cara-cara
yang menjauhi nilai-nilai holistik dari cinta.
Kedalaman hidup, makna cinta sejati,
sulit ditemukan dalam manusia kapitalis jika tidak ada perjuangan yang
konsisten menuju sistem lain. Karena mereka tidak bisa berpikir banyak di luar
hubungan kepemilikan pribadi serta upaya-upaya dan tindakan-tindakan untuk
mengatur hubungan pertukaran diri (tubuh dan jiwa) dalam percaturan
kapitalistik. Bahwa diri adalah modal, bahwa tubuh, kerja, dan perannya, adalah
pertukaran yang diwadahi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi.
Pada hal cinta adalah kebebasan
untuk dibatasi selain kerelaan, tidak ada cinta sejati selama manusia
menganggap bahwa dirinya adalah miliknya sendiri tetapi sebenarnya terasing.
Kemanusiaan dan cinta adalah “menjadi”, dan bukan “memiliki”.
Masyarakat kapitalis menciptakan
manusia pemuja keindahan secara membuta berdasarkan logika kapital dan
buaian-buaian iklan. Kreasi keindahan yang diciptakan dalam logika pencarian
keuntungan dan akumulasi kapital demi kemewahan dan kemudahan hidup golongan
penumpuk modal telah mengkondisikan manusia mengalami estetisasi kehidupan
sehari-hari, atau membuat pengaburan atas perasaan dikotomis antara kebahagiaan
dan penderitaan: manusia bahagia dalam penderitaannya, menderita dalam
kebahagiaannya ataupun puas melihat kebahagiaan orang lain. Inilah corak
masyarakat yang dirayakan sebagai modernitas.
Kesadaran masyarakat barangkali
telah dianggap kalah dengan kapasitas untuk memanipulasi imajinasi dan ide-ide;
tapi masyarakat yang sadar akan terus bergerak, dan semakin cepat ketika
kondisi materialnya terpenuhi. Bukankah kebutuhan-kebutuhan itu (meskipun
kadang, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man adalah, semu)
selalu memerlukan pemenuhan-pemenuhan; sementara orang, misalnya menurut Freud,
akan neurotik ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi.
Meski begitu masih ada sosialisasi
tentang makna dan esensi cinta secara benar dalam masyarakat. Orang-orang tua kita menjadi contoh dari
cinta yang tidak ada diajarkan melalui film dan sinetron. Dunia saat ini butuh
propagandis-propagandis cinta yang militan, bukan sebagai artis atau bahkan pelacur di
majalah-majalah, koran dan TV. Aparat-aparat kapital itu hanya menunjukkan
pemaknaan mereka yang “tidak karuan” terhadap cinta
Dalam situasi seperti ini kemanusiaan
dan cinta sejati hanya dapat diperoleh dengan meneriakkan-mengutip dari puisi
Wiji Thukul-: “Hanya ada satu kata: Lawan!”
Seperti Kata Kata Mutiara
BalasHapus